Di dalam Perjanjian Lama, kata iman berasal dari kata kerja aman, yang berarti "memegang teguh". Kata ini muncul dalam beberapa bentuk yang bermacam-macam, semisal dalam arti "memegang teguh kepada janji" seseorang, karena janji itu dianggap teguh atau kuat, sehingga dapat dipercaya. Bertolak dari pemahaman ini, tentu menjadi menarik menelisik makna keteguhan hati dalam kerangka keterkaitannya dengan iman seseorang. Mengapa demikian? Bukankah pada umumnya, keteguhan hati lebih sering dikaitkan dengan sifat seseorang, bukan pada imannya. Tidak heran muncul kemudian istilah, "orang yang punya prinsip atau orang keras kepala" (Dasar pertimbangan dan pemikiran yang membedakan keduanya). Oleh karena itu, patutlah dimunculkan pernyataan: "Keteguhan hatimu adalah cerminan dari imanmu!". Seperti halnya Mazmur 98, pemazmur mengekspresikan keteguhan hatinya kepada Allah. Pemazmur meyakini bahwa keselamatan datang dari Allah. Lebih jauh, ia pun mengajak alam semesta untuk memuji Allah Sumber Keselamatan. Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah keteguhan hati yang kita miliki senantiasa tertuju pada Allah? Situasi dunia saat ini, yang seringkali seolah memperhadapkan kita dengan dua pilihan kehancuran atau ketahanan. Di tengah situasi s'perti ini lah setiap orang Kristen semakin ditantang untuk memiliki keteguhan hati yang mencerminkan keberimanannya pada Allah. Persoalan dan tantangan kehidupan tidak akan pernah berhenti dari waktu ke waktu. Yesus pun mengingatkan murid-muridnya dalam Lukas 21:5-19 mengenai "masa penderitaan", atau setidaknya masa yang sukar akan dihadapi mereka (baca: kita sebagai murid Kristus). Namun, ia mengajak murid-murid-Nya untuk "masa itu" sebagai sebuah kesempatan untuk menjadi saksi-Nya. Jadi, marilah kita memahami bahwa hati yang teguh merupakan gambaran iman, sekaligus wujud untuk menjadi saksi yang otentik dalam Kristus. [CH] |