GKI Jatimurni

Renungan [304]

HIDUP YANG BERDAMPAK
05/02/2023
Yesaya 58 : 1 - 9
Mazmur 112
1 Korintus 2 : 1 - 12
Matius 5 : 13 - 20

Hipokrit, atau hypocrite, akhir – akhir ini sering kita dengar dalam bahasa keseharian, yang berarti secara terbuka menyatakan memiliki sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan sikap atau tingkah laku tersebut. Begitu banyaknya informasi yang kita dapat dari berbagai sumber, seringkali memberikan ide dan pandangan yang baru akan berbagai aspek dalam kehidupan kita. Termasuk dalam menjalankan kehidupan beragamapun kita sering berdebat, mempertanyakan mana yang baik dan yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Tidak hanya terjadi dalam lingkungan jemaat bahkan Gereja sebagai naungan jemaat, masih sering bingung dalam menyelesaikan berbagai masalah jemaat yang ada di dalamnya. Kebingungan ini yang menimbulkan kesan tidak adil, berat sebelah, tumpang tindih, hingga istilah hipokrit menjadi terdengar di orang sekitar kita ataupun di kalangan jemaat gereja. Wajarkah H 2 kebingungan itu terjadi? Pemahaman mana yang kita harus kita pegang agar kita bisa berdampak dengan positif bagi sesama kita?

Yesaya 58 : 1 – 9 adalah perikop dalam rangkaian penggenapan keselamatan dan syarat – syaratnya, di sana ditekankan perihal bagaimana berpuasa yang baik. Selama ini kita sering menjalankan puasa, ataupun berpantang, untuk apa? Sekedar menjalankan nazar, ataupun meminta sesuatu dalam puasa kita. Sedangkan dalam proses puasanya sering kita mengeluh betapa berat menjalankannya, betapa banyak orang yang menguji emosi kita dalam berpuasa, bahkan kita justru membatasi diri kita untuk tidak berinteraksi dengan sesama agar kita tidak “gagal” dalam puasa kita. Sebaliknya pada Yesaya 58 : 6 – 9, Tuhan melalui Yesaya berkata agar kita memberikan diri kepada sesama, menolong mereka yang membutuhkan bantuan, bukan malah bersembunyi dibalik puasa kita dan tidak melakukan apa apa atau bahkan lebih parahnya malah menghakimi mereka yang tidak berpuasa.

Surat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus pun memberikan pesan yang sama, supaya kita bisa menjadi pribadi yang baik bagi sesama, kita harus baik dulu di mata Tuhan. Roh Kudus yang membimbing kita dalam segala perbuatan, bukan pemahaman kita akan berbagai hal. Rasul Paulus mengatakan pada 1 Korintus 2 : 3, bahwa dia datang dengan rasa takut, dan gemetar, tapi dia dapat memberitakan kabar gembira dengan penuh keyakinan dengan terus berpegang teguh pada Roh Kudus. Dia menunjukkan keyakinannya akan Tuhan Yesus kepada jemaat Korintus, yang di kala itu sedang bingung dengan berita Tuhan Yesus yang mati dan bangkit. Rasul Paulus tidak menggunakan filsafat – filsafat yang digunakan masyarakat Korintus, melainkan memberitakan secara tegas firman Tuhan.

Garam dan terang dunia yang disebut dalam Matius, mengajak kita lebih merefleksikan diri kita lagi dalam peran kita di dunia ini. Di sana dikatakan garam tidak boleh tawar agar tetap bisa digunakan, jadilah terang yang bisa terlihat agar bisa menjadi terang bagi semua orang. Sehingga peran kita di dunia bukanlah baik menurut kita sendiri tetapi juga baik untuk sesama kita. Bukan pikiran kita sendiri yang kita paksakan kepada orang lain, melainkan kita juga harus mementingkan pikiran orang lain dengan terus berhikmat kepada Tuhan.

Rangkaian firman Tuhan yang diberitakan dalam Yesaya, Korintus, Matius, memang mengajak kita untuk bisa berdampak bagi dunia, tetapi yang perlu ditekankan adalah kita diajak untuk melihat dulu bagaimana dampak firman Tuhan bagi hidup kita? Sudahkah kita berdampak dengan positif bagi sesama kita? Sudahkah kita melakukan segala sesuatunya dengan berhikmat kepada Tuhan atau masih bergantung pada pemikiran kita sendiri? [EDF]

EDF
Sonny W Adi
08/02/2023 07.53.21