Penolakan adalah suatu yang secara umum sangat kita hindari. Bahkan, bisa dibilang ditakuti. Kita sangat takut pada penolakan, sehingga melakukan berbagai macam cara agar bisa diterima lingkungan sosial kita. Tentu saja hal ini tidak lepas bahwa kita adalah makhluk sosial yang terus berusaha menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Kita membutuhkan penerimaan sebagai energi kita melanjutkan hidup, dan bisa melakukan karya-karya yang kita anggap itu baik untuk diri kita sendiri dan kehidupan kita dalam masyarakat. Lalu, bagaimana kenyataannya kalau kita menghadapi tembok yang bernama penolakan? Alkitab banyak memberikan contoh akan hal ini. Yehezkiel 2 : 1 – 5 menceritakan bagaimana Yehezkiel dipanggil Tuhan untuk menjadi nabi. Keadaan Yehezkiel saat itu tidak mudah. Bangsa Israel sedang berada dalam pembuangan. Iman mereka begitu goyah, rapuh, banyak terjadi pemberontakan akan iman mereka kepada Tuhan. Dalam keadaan seperti itu, Tuhan memanggil Yehezkiel, supaya bangsa Israel tahu bahwa ada nabi yang diangkat walaupun dalam masa pembuangan. Dalam pasal ini Tuhan beberapa kali memanggil Yehezkiel dengan sebutan “Anak Manusia.” Panggilan itu melambangkan kelemahannya sebagai manusia dan keharusannya untuk selalu bergantung pada Tuhan dalam setiap hal. Bahkan, pada pasal pertama, Yehezkiel dibekali Tuhan berbagai penglihatan. Hal ini menunjukkan, tugas Yehezkiel begitu berat untuk menggembalakan bangsa Israel yang terbuang. Namun, Tuhan menunjukkan kuasanya yang dahsyat dan menyatakan akan selalu mendampingi Yehezkiel. Kisah lain yang bisa kita lihat dalam perjanjian baru yaitu dari Rasul Paulus di 2 Korintus 12:1-10. Kita mengetahui pelayanan Paulus begitu luar biasa. Nampak pada setiap karyanya yang kita rasakan sebagai orang Kristen, hingga terbentuknya banyak gereja saat ini. Dalam berbagai kesulitan yang dihadapi dalam masa pelayanannya, 2 Korintus 12:1 mengajarkan kita untuk selalu bermegah dalam Tuhan. Terus merasakan setiap hikmatnya, sehingga kita mendapatkan energi dari Tuhan. Namun, sekaligus tidak sombong seperti pada Korintus 12:6 - 7 bahwa kita juga harus menahan diri dan menyadari kita masih memiliki “duri” yang terus mengintai dan bisa melemahkan kita. Kita diajak bisa kuat dalam Tuhan, sekaligus terus mengingat kelemahan kita akan dosa. Jika kita sudah melihat bagaimana Yehezkiel dipanggil di masa pembuangan yang begitu sulit, dan bagaimana Paulus begitu merasakan hikmat Tuhan dalam hidupnya, lalu bagaimana dengan Sang Teladan kita Yesus? Dalam Markus 6:1-6, diceritakan bahkan Yesus mengalami penolakan di kampung halaman-Nya sendiri. Bahkan berbagai nubuatan dan mukjizat tidak bisa meyakinkan orang-orang di Nazaret untuk menerima Yesus. Namun, apakah Yesus terpengaruh? Tentu saja tidak. Dia pergi dari tempat itu dan mengutus murid-murid-Nya untuk menyebar dan semakin semangat memberitakan Injil. Dari semua ini kita bisa belajar bahwa penolakan bisa saja terjadi di manapun dan dari manapun, tetapi itu tidak bisa menghalangi kita jika kita terus berpegang teguh pada kuasa Tuhan. Tanpa diminta, Tuhan selalu memberkati kita akan kuasanya. Tinggal apakah kita mau merasakan, meresapi, dan menggunakan kuasa itu untuk memberitakan kabar gembira ke seluruh dunia? (EDF) |