Kita manusia dalam perjalanan hidup kita di dunia ini mengambil banyak sekali peran. Dari mulai kecil, kita berperan sebagai anak yang menerima segalanya dari orang tua. Kebutuhan kita dipenuhi. Kita menerima berbagai pelajaran dari berbagai aspek kehidupan itu. Kemudian, kita menjadi remaja dan pemuda. Kita mulai mengambil peran dalam dunia, baik itu di sekolah, dalam pergaulan. Lalu saat dewasa, peran kita sudah lebih banyak, karyawan dalam pekerjaan, orang tua dalam keluarga, rekan pelayanan dalam gereja. Kita tak henti-hentinya belajar, agar setiap peran yang kita lakukan membawa makna dan dampak yang baik, untuk diri sendiri dan orang lain. Pertanyaan yang timbul, apakah semuanya ini sudah sejalan dengan yang Tuhan inginkan? Apakah peran yang kita ambil sudah sesuai dengan apa yang 1 Tuhan siapkan untuk kita? Atau justru malah kita hanya memainkan peran sesuai yang kita mau saja? Dalam bacaan Filipi 3:4-14, Paulus mengajak untuk melihat kisah hidupnya yang lalu. Dulu, Paulus menganggap dirinya orang saleh, patuh akan Hukum Taurat. Dia merasa benar dengan menangkap dan menganiya pengikut Tuhan Yesus. Namun, pada akhirnya dialah yang ditangkap Tuhan Yesus, dan berbalik dari penganiaya pengikut Tuhan Yesus, menjadi manusia yang begitu menyayangi Tuhan Yesus dan pengikutnya. Yesaya 43:16-21 juga menceritakan bagaimana Tuhan mengajak manusia jangan lagi melihat masa lalu. Tuhan sudah menyertai bangsa Israel, membelah lautan agar mereka bisa pergi dari perbudakan Mesir, menyertai mereka dalam setiap perang, memberikan makan saat mereka lapar. Kedua bacaan itu mengajak kita agar kita tidak lagi fokus akan masa lalu. Pengalaman memang adalah guru yang berharga. Tetapi Tuhan adalah guru dari segala guru yang harus kita ikuti ajarannya, harus selalu menjadi tujuan kita dalam setiap peran yang kita lakukan di dunia. Injil Yohanes 12:1-8, menceritakan perspektif bahwa kita akan selalu mendengar suara-suara yang berusaha menjauhkan kita dari Tuhan. Marta yang adalah pengikut Yesus, membasuh kaki Yesus dengan minyak yang sangat mahal, tetapi justru dikomentari Yudas Iskariot yang berargumen itu adalah pemborosan. Keduanya memberikan argumen yang keliatannya sama-sama baik. Marta merasa minyak narwastu tidak lebih berharga dari segala pengajaran Yesus. Sedangkan Yudas Iskariot merasa minyak itu bisa itu dijual untuk sedekah. Tetapi Tuhan Yesus, selalu bisa tahu akan isi hati manusia, siapa yang tulus memberikan miliknya yang terbaik untuk Tuhan, dan siapa yang hanya berusaha mencari keuntungan duniawi. Tuhan Yesus sudah sangat jelas mengatakan kita diminta senantiasa mengikuti-Nya. Tugas kita adalah melakukan hal tersebut, dengan melepaskan masa lalu yang menjadi penghalang kita untuk mencari Tuhan, melepaskan segala pemikiran duniawi yang hanya memuaskan nafsu kita, dan terus fokus menjalankan peran kita di dunia hanya untuk Tuhan. (EDF)* |